Senin, November 10, 2008

wanita


Maafkan Aku Isteriku...

oleh Al Furqan

Emak, saya dibesarkan oleh Emak dengan penuh perhatian. Emaklah yang
memandikan saya dan adik-adik hingga saya mampu untuk mandi sendiri.
Saya
dan adik-adik hanya berbaris di depan sumur lalu Emak menguyur tubuh
kami
dengan ember yang berisi air yang ditimba dari dalam sumur.

Emaklah yang memakaikan seragam sekolah hingga menyuapi sarapan
pagi. Saya
hanya tinggal buka mulut, suapan tangan Emak pun masuk ke mulut
saya. Lalu
Emak akan mengantar kami ke sekolah. Setelah itu Emak kembali ke rumah
untuk mengurus Bapak.

Bapak, saya tak pernah dekat dengan Bapak. Bukan karena Bapak saya orang
jahat. Bukan karena saya tak pernah mencurahkan gundah di hati saya.
Bukan
karena Bapak tak pernah memeluk saya dengan hangat. Bukan karena
Bapak tak
pernah tertawa dengan gurau yang saya lontarkan.

Entahlah hati saya merasa jauh dari Bapak. Kami memang saling menyapa,
tetapi semua itu hanya basa-basi. Saya dan Bapak tidak pernah berbicara
mengenai perasaan kami. Saya tak pernah mendengar ungkapan cinta
dari bibir
Bapak. Saat Bapak memeluk, saya merasa dipeluk oleh mahluk asing.
Hambar,
tak ada gejolak.

Berbeda ketika Emak memeluk saya. Saya merasa begitu damai dan aman.
Saya
seperti mendengar nyanyian merdu dari dalam dadanya. Tubuhnya begitu
hangat
membuat saya betah berlama-lama dalam pelukan Emak sehabis mandi pagi.

Pada Emaklah saya banyak bercerita. Tentang sekolah dan teman-teman
saya.
Juga saat pertama kali saya suka pada teman wanita saya. Emak
mengajarkan
saya banyak hal. Tetapi Emak tak pernah mengajarkan saya pekerjaan
rumah.
Emak bilang itu pekerjaan perempuan.

Bapak, tak pernah mengajari saya. Bapak memberikan hadiah sepeda tetapi
tidak mengajari saya naik sepeda. Bapak membelikan saya kelereng, tetapi
tidak mengajari saya cara menggunakannya. Bapak membelikan saya layangan
tetapi tidak menemani saya bermain layangan. Hanya Bapak sering berkata
bahwa saya tidak boleh cengeng. Lelaki tidak boleh menangis. Jadi
laki-laki
harus kuat dan tegar.

Saya sering memperhatikan Emak mencuci piring. Melihat busa yang
dihasilkan
oleh sabun colek yang Emak pakai. Saya ingin membantu Emak agar saya
dapat
bermain dengan sabun tersebut. Tetapi Emak melarang saya, malah Emak
meminta saya untuk bermain layangan dengan teman-teman saya di depan
rumah.

Saya ingin membantu Emak di dapur, tetapi lagi-lagi Emak berkata itu
pekerjaan perempuan. Malang sekali perempuan, pikir saya saat itu.
Apalagi
saya tak pernah melihat Bapak membantu Emak mengurus kami ataupun
membantu
Emak di rumah. Semuanya dilakukan oleh Emak. Kata Emak karena Bapak
sudah
capek bekerja mencari uang, lagi pula semua itu tugas perempuan.

Suatu ketika saat bermain kelereng saya berkelahi dengan seorang anak
lelaki seusia saya. Tetapi badannya lebih kecil. Saya pukul dia hingga
badannya babak beluk. Teman-teman saya tidak ada yang memisahkan kami.
Bahkan mereka menyemangati kami. Hingga akhirnya Bapak anak yang
saya pukul
datang lalu memisahkan kami.

"Anak siapa kamu?! Anak kurang ajar! Dimana Ibumu?!" Lelaki itu
menghardik
saya. Lalu membawa saya pulang. Dia pun menghardik Emak. Katanya
Emak tidak
becus mengurus dan mendidik saya hingga saya menjadi anak kurang ajar.
Rasanya saya ingin menghajar lelaki tersebut yang berani memaki Emak.

Kasihan Emak. Sejak saat itu saya tak nakal lagi. Saya tak ingin
Emak yang
disalahkan karena kenakalan saya. Tak ingin Bapak marah pada Emak karena
perbuatan saya.

Saya mulai beranjak remaja, di sekolah saya sering menjadi juara kelas.
Bapak datang mengambil rapor saya. Bapak dipuja oleh kepala sekolah
dihadapan orangtua yang lainnya. Saya pun bertanya dalam hati, mengapa
Bapak yang dipuja ketika saya berprestasi. Bukankah Emak yang telah
mengajari saya?

Setamat SMA saya melanjutkan kuliah di kota lain. Saya mulai aktif di
kegiatan masjid. Saya mulai belajar tentang agama saya. Juga
mengenai peran
perempuan yang sebenarnya. Tidak seperti yang selama ini saya dapat dari
Emak. Dan Emak mendapatkannya dari nenek saya.

Ketika musim libur saya kembali ke rumah. Di rumah Emak mengurus
saya sama
seperti saya waktu kecil. Saya ingin menolaknya. Tetapi setiap kali
melihat
kebahagian di mata Emak saat menghidangkan makanan di hadapan saya,
keinginan tersebut lenyap. Begitu juga saat saya ingin membantu Emak
membersihkan rumah. Emak melarang saya dan meminta saya duduk di serambi
rumah dengan Bapak. Hati saya merasa tak nyaman melihat Emak bekerja
sementara Bapak hanya duduk sambil menghisap rokok ditemani secangkir
kopi.Tetapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya pun memenuhi permintaan
Emak duduk di sebelah Bapak, tetapi kami hanya saling membisu.
Seperti dua
mahluk yang berbeda, tak tahu harus berkata apa.

Setelah saya selesai kuliah, saya pun menikah dengan teman kuliah
saya yang
berasal dari kota yang sama. Seperti Emak, isteri saya mengurus saya dan
rumah dengan baik. Walaupun dia juga bekerja sebagai karyawati di sebuah
perusahaan. Saya mulai merasakan sesuatu yang salah dalam diri saya.
Rasanya saya sudah terbiasa hidup dilayani. Saya sudah terbiasa hidup
seperti raja, walaupun saya tahu itu tidak benar. Seharusnya saya
membantu
isteri saya di rumah, tetapi saya tidak terbiasa untuk itu. Dari
kecil saya
tidak dilatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Isteri saya tidak pernah mengeluh, walaupun saya tahu tubuhnya sangat
letih. Dia selalu berkata ingin menjadi isteri yang baik. "Isteri harus
berbakti dan melayani suami," pesan ibu mertua pada isteri saya.

Saat anak pertama saya lahir, ada rasa bahagia dan takut dalam diri
saya.
Entahlah saya takut tak dapat mendidiknya dengan baik. Apalagi saya tak
pernah melihat Bapak mengajari kami ataupun menasehati kami tentang
kehidupan. Saya tak tahu harus mencontoh siapa dalam mendidik putra
saya.

Setelah melahirkan, isteri saya tinggal di rumah, mendapat cuti dari
kantornya. Dia pun merawat bayi kami dengan baik. Malam hari ketika bayi
kami menangis, isteri saya berusaha menenangkan tanggisan tersebut. Bayi
kami dibawa keluar kamar. Isteri saya tak ingin tidur saya terganggu
dengan
tanggisan tersebut. Ketika saya ingin menenangkan bayi kami, isteri saya
meminta saya kembali tidur.
Dengan alasan besok saya harus masuk kerja,
sedangkan dia tak perlu ke kantor. Saya pun menurut, lagi pula saya
memang
ngantuk. Saya tak pernah berusaha meyakinkan isteri saya. Mungkin karena
ada perasaan aneh saat saya harus mengurus bayi, atau karena saya sudah
merasa keenakan dengan kebaikan isteri saya.

Isteri saya telah habis masa cutinya, tetapi perhatian pada bayi
kami tidak
berkurang. Dia tetap memberikan ASI. Saat pulang dari kantor isteri saya
datang membawa ASI yang disimpan dalam botol-botol kecil. Walaupun
isteri
saya harus lembur tak lupa dia dengan kebutuhan bayi kami.

Hari itu, isteri saya pulang terlambat. Saya sudah terlelap tidur
saat dia
datang. Sedangkan bayi kami diurus oleh pengasuhnya sampai isteri saya
datang. Isteri saya kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih.
Bayi kami
menangis malam itu. Seperti biasa isteri saya bangun untuk
menenangkan bayi
kami. Tidak seperti biasanya malam itu isteri saya membiarkan bayi kami
tetap berada di kamar sedangkan dia keluar untuk mengambil botol susu.

Saya baru saja akan terlelap dalam mimpi ketika saya mendengar
teriakan dan
dentuman dari arah tangga rumah kami. Segera saya loncat dari tempat
tidur
menuju suara tersebut. Jantung saya berpacu cepat seketika saat
melihat di
bawah tangga isteri saya tergeletak tak bergerak. Saya berusaha
membangunkannya tetapi dia tidak juga bergerak. Rupanya ketika dalam
keadaan letih, ngantuk dia berjalan dalam ruangan gelap menabrak ujung
tangga dan terpeleset jatuh. Kepalanya menghantam tangga hingga ke
lantai
satu.

Setelah tak sadarkan diri selama lima hari, isteri saya pun pergi
menghadapNya. Saya hanya dapat menyesali diri. Saya menyesal tidak
membantu
isteri saya dalam mengurus bayi kami malam itu. Padahal saya bisa
memberikan ASI dalam botol tersebut. Saya tahu tugas sayalah melindungi
isteri dan bayi kami. Tetapi mengapa saya ragu? Kini saya tak tahu
bagaimana merawat dan membesarkan bayi. Bagaimana mendidiknya kelak.
Saya
tak pernah punya contoh. Isteriku, maafkan aku. (BR)

--
Aldo Desatura (R) & (c)
============ ====
Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala dan Perjuangan Adalah pelaksanaan kata kata

Tidak ada komentar: